Pertambangan Tanpa Izin (PETI) batubara yang berada di Kecamatan Lawang Kidul dan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim telah berjalan dalam kurun waktu 11 tahun dan seakan-akan susah untuk dihentikan.
Terlebih aktivitas PETI batubara yang juga diprakarsai oleh cukong ini terkesan kental seperti mendapatkan dukungan dari oknum birokrasi dan keamanan melalui sistem “koordinasi” dengan pemain-pemain di lapangan.
Kepentingan cukong untuk mendapatkan keuntungan dari batubara yang sesuai dengan spesifikasi industri kecil menengah/pabrikasi serta harga yang murah didapatkan dari Pertambangan Tanpa Izin batubara di Kabupaten Muara Enim ini, bahkan saat ini dari beberapa laporan aktivitas PETI batubara ini sudah meluas hingga Kabupaten Lahat.
Ironisnya, meski tercatat telah memakan belasan nyawa manusia yang merupakan pekerja, namun aktivitas yang telah berjalan lebih dari satu dekade ini masih terus berjalan.
Padahal nyata di depan mata kegiatan ilegal ini dilakukan berdekatan dengan salah satu kantor Aparat Penegak Hukum di Kecamatan Tanjung Agung, dibuktikan dengan adanya temuan tempat bermuat/loading tidak jauh dari kantor tersebut.
Herannya, aktivitas PETI yang kerap dilakukan sore hari sampai menjelang tengah malam ini terkesan “cendrung” aman.
Sempat Tiarap, Lalu Merajalela Kembali
Ada yang menarik pada perayaan Hari Bhayangkara yang ke-76 tahun, sebuah langkah tegas dilakukan oleh pihak kepolisian resort Muara Enim terhadap aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) batubara di Kecamatan Lawang Kidul dan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim yakni dengan memberikan himbauan atau sosialisasi kepada para pengelola atau “pemain” PETI batubara untuk menghentikan aktivitasnya.
Lantas kepolisian resort Muara Enim memasang banner berupa pengumuman “Dilarang melakukan Pertambangan Tanpa Izin karena melanggar Undang-Undang No.3 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara pasal 158 dengan pidana kurungan selama 5 tahun dan denda 100 Milyar”.
Pemasangan banner pengumuman tersebut dilakukan pada setiap tempat muat (foxs) atau lansir batubara karungan dari lubang galian ke atas mobil fuso/engkel, yang kebanyakan berada dipinggir jalan dan kerap ditutupi seng.
Sempat tertib dan berjalan penghentian aktivitas PETI batubara di dua Kecamatan dalam Kabupaten Muara Enim itu, dibuktikan selama beberapa hari sebelum dan sesudah peringatan Hari Bhayangkara pada tanggal 1 Juli 2022 mobil fuso atau engkel bertumpuk di setiap rumah makan yang ada dipinggir jalan di Desa Tanjung Lalang, Pulau Panggung, Sleman, Paduraksa.
Mereka tidak mendapatkan muatan batubara illegal dari hasil Pertambangan Tanpa Izin (PETI) dan lokasi bemuat batubara illegal yang ada dipinggir-pinggir jalan pintu yang terbuat dari seng dan kain terpal terlihat ditutup.
Tapi tidak terlalu lama berhenti atau istilah para pemain PETI batubara di teritori tersebut menyebutnya “TIARAP”, walau sempat ada penangkapan 8 orang pelaku PETI di Desa Keban Agung oleh Polsek lawang kidul, aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) batubara kembali berjalan, bahkan ada salah satu tempat bemuat batubara illegal yang membangun jalan cor beton untuk memperlacar proses bemuat.
Yang menariknya, di depan pintu masuk tempat bermuat (fox) yang terdiri dari seng-seng, ada banner yang bertuliskan pengumuman larangan melakukan Pertambangan Tanpa Izin yang dikeluarkan oleh Kapolsek Tanjung Agung.
Dampak PETI
Baru-baru ini ada beberapa berita di media online yang berbicara data dan fakta atas kondisi dan dampak dari Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yakni sebagai berikut :
Pertama, terdapat lebih dari 2.700 lokasi PETI yang tersebar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, lokasi PETI batu bara sekitar 96 lokasi dan PETI mineral sekitar 2.645 lokasi berdasarkan data tahun 2021 (triwulan-3), salah satu lokasi PETI yang terbanyak yaitu di Provinsi Sumatera Selatan menurut Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi.
Dia menambahkan bahwa PETI adalah kegiatan memproduksi mineral atau batubara yang dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa memiliki izin, tidak menggunakan prinsip pertambangan yang baik, serta memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial (Kumpara.com).
Kedua, Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batu bara, Sunindyo Suryo Herdadi menjelaskan aktivitas tambang ilegal dapat menghambat pembangunan daerah karena tidak sesuai rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) dan dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat.
Kondisi yang demikian akan menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat serta menimbulkan kerusakan fasilitas umum dan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.
PETI juga berdampak bagi perekonomian negara karena berpotensi menurunkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan pajak. Selain itu, akan memicu kesenjangan ekonomi masyarakat, menimbulkan kelangkaan BBM, dan berpotensi terjadinya kenaikan harga barang kebutuhan masyarakat.
Dari sisi lingkungan, PETI bisa menimbulkan kerusakan lingkungan dan merusak hutan apabila berada di dalam kawasan hutan. Mereka juga berpotensi dapat mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air.
Pelaksanaan PETI umumnya mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Acap kali terjadi pelanggaran seperti menggunakan peralatan yang tidak standar, tidak menggunakan alat pengamanan diri (APD), tidak adanya ventilasi udara pada tambang bawah tanah, dan tidak terdapat penyanggaan pada tambang bawah tanah.
Aktivitas PETI yang sudah tidak beroperasi pada umumnya meninggalkan lahan bekas tambang terbuka yang menyisakan void dan genangan air, sehingga lahan tersebut tidak dapat lagi dimanfaatkan dengan baik.
Bahaya lain yang ditimbulkan tambang ilegal adalah batu bara yang terekspos langsung ke permukaan berpotensi menyebabkan swabakar, sehingga dalam skala besar berpotensi menyebabkan kebakaran hutan.
Seluruh kegiatan PETI tidak memiliki fasilitas pengolahan air asam tambang, sehingga genangan-genangan air serta air yang mengalir di sekitar PETI bersifat asam, ini berpotensi mencemari air sungai (Katadata.co.id).
Ketiga, hasil penyusuran Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) bersama perkumpulan Telapak Sumsel dan Spora Institut Palembang di Sungai Musi, menurut peneliti ESN, Prigi Arisandi, Sungai Musi yang membelah kota Palembang sudah tercemar mikroplastik dan kandungan bahan kimia yang tinggi.
Pencemaran yang terjadi di Sungai Musi salah satunya diakibatkan oleh aktivitas alih fungsi lahan di hulu yang kian meningkat, hingga membuat pencemaran mikroplastik dan kandungan bahan kimia yang tinggi dan hal tersebut dapat menjadi ancaman baru terhadap kelestarian serta kehidupan ikan di Sumsel.
Aktivitas tambang tanpa izin, perkebunan sawit, dan pencemaran industri telah menimbulkan pencemaran, Sementara itu air Sungai Musi digunakan sebagai bahan baku air minum
Antara Aturan Hukum dan Koordinasi
Jika kemudian menjadi pertanyaan dari data ESDM, mengapa 2.700 titik lokasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang jelas-jelas melanggar perundangan Negara Kesatuan Republik Indonesia bahkan dengan hukuman pidana, masih saja terjadi di NKRI, apakah kemudian Aparat Penegak Hukum (APH) yang ada di Negara ini tidak menjalankan tugasnya, ataukah seperti bahasa masyarakat “hukum itu tajam ke bawah, tapi tumpul keatas”, atau mungkin terkait Sumber Daya Manusia Indonesia, dari sisi pengetahuan yang kemudian membuahkan kesadaran akan pentingnya sebuah perizinan yang mengatur serta kajian dan penelitian, agar aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan dapat diminimalisir.
Pendapat egoisme yang banyak dilontarkan oleh para pemain PETI “Kami menggali ditanah kami sendiri”, “Apa yang kami ambil belum seberapa dibanding yang PT ambil”, “Kapan lagi kami nak nikmati hasil kami sendiri”, “Terserah lingkungan biar diatur tuhan” merupakan pendapat sederhana masyarakat yang kemudian dimanfaatkan bahkan ditumbuh kembangkan oleh para mafia/cukong pertambangan yang kemudian berlindung “atas nama rakyat” untuk dapat terus mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat.
Secara sederhana pola mafia/cukong pertambangan batubara tanpa Izin di Kecamatan Lawang Kidul dan Tanjung Agung beroperasi, mereka membiayai dan membelinya dari aktivitas masyarakat yang kemudian dimunculkan slogan “Tambang Rakyat”
Ini kemudian mengilusi kesadaran rakyat kecil yang menjadi pekerja bahwa tambang batubara itu punya izin, operasi dan cost penambangan tentu murah karena tanpa izin, maka pajak tidak dilakukan sehingga harga dipasaran bisa ditekan murah, dan ini merusak pasaran hingga terjadi ketidakstabilan pasar.
Belum lagi kemudian para mafia/cukong tambang batubara tanpa izin itu mengabungkannya dengan batubara yang berizin yang harganya akan bertambah dan berlipat-lipat. Lalu pertanyaanya siapa yang diuntungkan, rakyat atau para cukong/mafia tambang batubara itu?
Kembali pada sebuah pemandangan terhadap kegiatan bermuat batubara dari Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang jelas-jelas melanggar aturan perundangan dengan ancaman kurungan penjara serta denda, yang hanya dianggap remeh serta mungkin tidak tegas dan jelas.
Di tengah-tengah penindakan hukum oleh pihak aparat penegak hukum yang terkesan hanya menjalankan perintah dari struktur diatasnya. Apakah benar sebuah tindakan atas pelanggaran hukum yang diatur didalam perundang-undangan dapat diatasi oleh sebuah izin tak tertulis, sebuah ketentuan tak baku yang kemudian diberi nama “koordinasi” alias kopi, rokok dan nasi.*
*)Pemerhati kebijakan publik dan aktif di lembaga riset
#TIM
COMMENTS